Sabtu, 28 Maret 2009

sosok empat dimensi

Sosok Empat Dimensi
Oleh : Ihsan Faisal,M.Ag *

Bagi seorang laki-laki yang sudah menikah, selain mengubah status kepribadiannya juga ditambah dengan konsekuensi kewajiban yang mutlak diembannya. Pada awalnya ia hanya sosok satu dimensi, tapi setelah menikah dan diberi amanah berupa keturunan, maka bertambahlah menjadi sosok empat dimensi (minimal).
Keempat dimensi yang dimaksud antara lain peran sebagai suami bagi istrinya, peran ayah bagi anak-anaknya, peran menantu bagi mertuanya, dan peran anak bagi orang tuanya. Dari tiap-tiap dimensi akan muncul dua elemen pokok yaitu hak dan kewajiban. Tanpa mengesampingkan masalah hak, saya berfikir kewajiban lah yang mesti diprioritaskan.
Peran sebagai suami bagi sang istri amat menentukan. Bagaimana tidak, bak nahkoda dalam kapal atau pilot di pesawat, seluruh harapan dan kepercayaan sang istri seolah dilimpahkan pada sang suami yang menjadi andalannya. Permasalahan rumah tangga, pekerjaan, karir, ekonomi, sosial, dan sebagainya bergantung pada suami., the husband is all everything. Sedikit saja sang nahkoda mengalami kegoyahan, maka bahtera rumah tangga akan mengalami goncangan bahkan tidak sedikit yang karam.
Ketika diberi amanah berupa keturunan, maka peran pun bertambah menjadi sosok sang ayah. Begitupun sang anak, sangat mengandalkan dan berharap pada sosok sang ayah. Ketika dia menemui rintangan/halangan, di benaknya hanya ayah lah yang bisa mengatasinya. Ketika menemui kesulitan dalam pengetahuan, ayah lah yang ia harapkan bisa menjawab segala persoalan. Sampai ketika ia lemah tak berdaya, dalam pikirannya ayah lah yang paling kuat bak superman dalam cerita fiksi. Tak terbayangkan apa jadinya jika sang ayah tidak bisa mengatasi problem-problem di atas ?
Peran sebagai menantu memiliki kekhususan tersendiri. Dikatakan demikian karena modal kepercayaan adalah taruhannya. Seolah-olah sang suami mengambil peran yang sedianya diemban oleh orang tua istri (mertua). Begitu pun sebaliknya, posisi dan sikap seorang menantu terhadap sang mertua harus seperti anak pada orang tuanya (karena memang demikian seharusnya). Perlakuan yang kurang adil terhadap mertua dan orang tuanya terkadang bisa menjadi penyulut keretakan hubungan suami-istri. Dalam hal perhatian, kunjungan silaturahim, permasalahan ekonomi, dan sebagainya semestinya bisa berjalan dengan seimbang antara dua kutub tersebut (mertua & orang tua).
Sebagai anak kandung bagi orang tuanya menjadi peran yang tidak bisa putus dan tidak bisa tergantikan dengan apa pun karena aliran darah bagi hubungan orang tua – anak ibarat ‘waktu’ bagi kehidupan dunia yang tak bisa dihentikan sedetik pun. Sikap yang adil dan selayaknya kepada orang tua harus terus dipertahankan karena kesalahfahaman yang terjadi akan mengakibatkan sikap su’udzan. Orang tua akan menyangka anaknya sekarang terkalahkan oleh istrinya yang notabene adalah menantunya sendiri. Sebelum pernikahan ia sangat perhatian (care) pada orang tuanya, tapi sekarang kok berbanding terbalik, itulah perkataan yang kadang tersembunyi di benak orang tua.
Selain dimensi di atas, sebenarnya masih ada beberapa dimensi lain seperti dimensi saudara, dimensi pegawai di kantor atau tempat kerjanya, dimensi bagian masyarakat, dan sebagainya. Pada intinya semua dimensi tersebut menuntut peran sebagai lelaki untuk berusaha secara maksimal. Karena itu seorang lelaki dituntut memiliki kapabilitas dalam segala bidang atau meminjam istilah sunda nya harus “masagi” (memenuhi segala penjuru/sudut relung kehidupan). Insya Allah, Aamien.

Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kec. Rancabali Kab. Bandung & Dosen PAI Politeknik TEDC Bandung.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar