Sabtu, 28 Maret 2009

mengurai benang kusut prostitusi

Mengurai Benang Kusut Prostitusi
Oleh : Ihsan Faisal, M.Ag

Pendahuluan
Pada akhir bulan April 2007, di Kota Bandung terjadi sebuah proses sejarah yang akan terkenang mungkin sepanjang sejarah bagi seluruh warga kota (pada umumnya) atau bagi pihak-pihak yang bersangkutan (pada khususnya). Peristiwa tersebut adalah ditutupnya lokalisasi Prostitusi yang sudah eksis sejak puluhan tahun yang lalu bahkan sudah menjadi icon tersendiri bagi predikat kota kembang. Lokalisasi tersebut bernama Saritem, terletak di Jl. Gardujati dan telah menjadi daerah transit bagi para pemuja nafsu syahwat dan pelaku bisnis ‘nikmat sesaat.’ Saritem merupakan refresentasi daerah lokalisasi yang sebenarnya merupakan fenomena gunung es di Indonesia.
Prostitusi (baca:pelacuran) merupakan satu sisi perilaku manusia yang menurut mayoritas masyarakat sebagai tindakan a moral / tidak beradab di kalangan manusia secara normal. Akan tetapi perbuatan ini dijadikan salah satu alternatif kehidupan (life style) dengan motivasi yang berbeda-beda, karena faktor ekonomi, sosial, dan sebagainya.

Akar masalah
Masyarakat modern yang serba kompleks, sebagai produk dari kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi dan urbanisasi memunculkan banyak masalah sosial. Maka adaptasi atau penyesuaian diri terhadap masyarakat modern yang hyper kompleks itu menjadi tidak mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi dan adjustment menyebabkan kebingungan kecemasan dan konflik-konflik, baik yang terbuka dan eksternal sifatnya, maupun yang tersembunyi dan internal, sehingga banyak orang mengembangkan pola tingkah laku menyimpang dari norma-norma umum, atau berbuat semau sendiri tanpa mempedulikan gangguan kerugian yang berdampak pada orang lain. Masalah-masalah sosial tersebut dalam sosiologi disebut sebagai pathologi sosial.
Pathologi sosial ialah ilmu tentang gejala-gejala sosial yang dianggap “sakit” disebabkan oleh faktor-faktor sosial,. Disebut juga ilmu tentang “penyakit masyarakat.” Maka penyakit masyarakat/sosial itu adalah segenap tingkah laku manusia yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum dan adat istiadat, atau tidak terintegrasi dengan tingkah laku umum. Jelaslah, bahwa adat istiadat dan kebudayaan itu mempunyai nilai pengontrol dan nilai sanksional terhadap tingkah laku anggota masyarakatnya. Maka tingkah laku yang dianggap sebagai tidak cocok, melanggar norma dan adat istiadat, atau tidak terintegrasi dengan tingkah laku umum, dianggap sebagai “masalah sosial.”
Orang yang dianggap kompeten menilai tingkah laku orang lain sebagai pathologi itu antara lain: pejabat, polisi, pengacara, haki, dokter, rahaniawan, dan ilmuwan di bidang sosial. Sekalipun mereka adakalanya membuat kekeliruan dalam membuat analisa penilaian terhadap gejala sosial, namun mereka itu pada umumnya dianggap mempunyai peranan menentukan dalam memastikan baik-buruknya pola tingkah laku masyarakat.
Faktor-faktor penyebab adanya masalah sosial di atas di antaranya adalah politik, religius, dan sosial budaya, di samping juga faktor ekonomi. Mengenai hal ini, kaum interaksionis dengan “teori interaksionalnya” menyatakan, bahwa bermacam-macam faktor tadi bekerja sama, saling mempengaruhi dan saling berkaitan satu sama lain; sehingga terjadi, “interplay” yang dinamis, dan bisa mempengaruhi tingkah laku manusia. Kemudian terjadi perubahan tingkah laku dan perubahan sosial, sekaligus mungkin timbul perkembangan yang tidak imbang dalam kebudayaan, disharmoni atau ketidak selarasan ketidakmampuan penyesuaian diri, konflik-konflik, dan tidak adanya konsensus. Maka muncullah banyak disorganisasi, disintegrasi, dan penyimpangan tingkah laku atau perilaku pathologis.
Pandangan psikologis dan psikiatris menyebutkan sebab-sebab tingkah laku pathologis dari aspek sosialnya, sehingga orang melanggar norma-norma sosial yang ada. Antara lain disebut faktor-faktor: intelegensi, ciri-ciri kepribadian, motivasi-motivasi, sikap hidup yang keliru dan internalisasi diri yang salah. Juga konflik-konflik emosional dan kecenderungan ‘psikoptahologis’ yang ada di balik tingkah laku menyimpang secara sosial itu. Para sosiolog dengan teori sosiologisnya berpendapat, bahwa penyebab dari tingkah laku sosiophatis itu adalah murni sosiologis atau sosio-psikologis.
Tingkah laku sosiophatis itu ditampilkan dalam bentuk: penyimpangan tingkah laku, struktur-struktur sosial yang menyimpang, kelompok-kelompok deviasi; peranan-peranan sosial status dan interaksi simbolis yang keliru,. Jadi, mereka menekankan fakor-faktor cultural dan social yang sangat mempengaruhi struktur organisasi social, peranan, status, partisipasi social dan pendefinisian diri sendiri.
Deviasi atau penyimpangan tingkah laku itu sifatnya bisa tunggal; misalnya hanya kriminil saja dan tidak alkoholik atau pecandu bahan-bahan narkotik. Namun juga bisa jamak sifatnya; misalnya seorang wanita tuna susila sekaligus kriminil. Jadi ada kombinasi dari beberapa tingkah laku menyimpang. Deviasi dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu :
a. individu-individu dengan tingkah laku yang menjadi “masalah” (merugikan dan destruktif) bagi orang lain, akan tetapi tidak merugikan diri sendiri.
b. Individu-individu dengan tingkah laku menyimpang yang menjadi “masalah” bagi diri sendiri, akan tetapi tidak merugikan orang lain
c. Individu-individu dengan deviasi tingkah laku yang menjadi “masalah” bagi diri sendiri dan bagi orang lain.
Sehubungan dengan lingkungan sosio cultural, deviasi tingkah laku dapat dibedakan menjadi : deviasi individual, deviasi situasional, dan deviasi sistematik. Termasuk ke dalam deviasi situsasional adalah masalah prostitusi/pelacuran. Deviasi situasional disebabkan olehpengaruh bermacam-macam kekuatan situasional/social di luar individu, atau pengaruh situasi di mana pribadi yang bersangkutan menjadi bagian integral di dalamnya. Situasi tersebut memberikan pengaruh yang memaksa, sehingga individu tersebut terpaksa harus melanggar peraturan dan norma-norma umum atau hukum formal. Seorang Wanita Tuna Susila (WTS) melakukan pelacuran karena perasaan tidak puas terhadap pekerjaan yang lalu, karena upahnya tidak mencukupi untuk membeli perhiasan dan pakaian yang diinginkannya.

Selayang pandang tentang Prostitusi (pelacuran)
Pelacuran atau prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat, yang harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan perbaikannya. Pelacuran itu berasal dari bahasa latin pro-stituere atau pro-stauree, yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan. Sedang prostitute adalah pelacur atau sundal. Dikenal pula dengan istilah Wanita Tuna Susila.
Profesor W.A. Bonger dalam tulisannya “Maatschap pelijke Oorzaken der Prostitutie” menulis definisi sebagai berikut: Prostitusi adalah gejala kemasyarakatan di mana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian. Dalam definisi ini jelas dinyatakan adanya peristiwa penjualan diri sebagai “profesi”atau mata pencaharian sehari-hari, dengan jalan melakukan relasi-relasi seksual.
Sarjana P.J. de Bruine Van Amstel menyatakan sebagai berikut: Prostitusi adalah penyerahan diri dari wanita kepada banyak laki-laki dengan pembayaran.
Kartini Kartono mendefinisikan prostitusi sebagai bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi, dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanap kendali dengan banyak orang (promiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi seks, yang impersonal tanpa afeksi sifatnya. Dengan kata lain pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu nafsu seks, dengan imbalan pembayaran.
Kategori pelacuran antara lain: pergundikan, tante girang atau loose married woman, gadis-gadis penggilan, gadis bar atau B-girls, gadis-gadis juvenile delinquat, gadis-gadis binal atau free girls, gadis-gadis taxi-girls, penggali emas atau gold-diggers, hostess atau pramuria.
Dari segi ciri khas pelacur ini mempunyai beberapa tanda : a. wanita atau gigolo, b. cantik,ayu,rupawan,manis,atraktif menarik baik wajah maupun tubuhnya, c. masih muda, d. pakaiannya sangat menyolok, e. menggunakan teknik seksual yang magnetis, f.bersifat sangat mobil, g. berasal dari strata ekonomi dan strata sosial rendah, h. rata-rata memiliki intelek yang normal.
Ada beberapa peristiwa sosial penyebab timbulnya pelacuran, antara lain :
1. Tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran, juga tidak ada larangan terhadap orang yang melakukan relasi seks di luar pernikahan
2. adanya dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks, khususnya di luar ikatan perkawinan
3. komersialisasi dari seks oleh beberapa pihak yang sengaja mengambil keuntungan
4. dekadensi moral
5. semakin besarnya penghinaan orang terhadap martabat kaum wanita dan harkat manusia
6. kebudayaan eksploitasi terhadap pihak perempuan
7. ekonomi berdasarkan hukum permintaan dan penawaran
8. peperangan dan masa-masa kacau dalam suatu negeri
9. pembangunan dengan mengkonsentrasikan pada pihak laki-laki
10. perkembangan kota dan arus urbanisasi
11. bertemunya macam-macam kebudayaan asing dengan kebudayaan setempat.

Selain itu ada juga motif yang melatarbelakangi adanya pelacuran, di antaranya sebagai berikut :
a. kecenderungan untuk menghindarkan diri dari kesulitan hidup dan mendapatkan kesenangan melalui “jalan pendek.”
b. Adanya nafsu seks yang abnormal
c. Tekanan ekonomi, seperti kemiskinan
d. Aspirasi kesenangan dunia/materi yang terlampau tinggi di kalangan wanita
e. Kompensasi terhadap perasaan-perasaan inferior
f. Rasa ingin tahu para remaja wanita terhadap masalah seks sehingga rela terjerumus dalam dunia pelacuran
g. Pemberontakan anak gadis terhadap orang tua mereka yang terlalu menekan/membatasi
h. Suka melakukan relasi seks jauh sebelum perkawinan
i. Bujuk rayu kaum lelaki dengan segala mimpi-mimpi manisnya, dll

Sebagai akibat dari terjadinya pelacuran akan memunculkan beberapa kejadian seperti hal berikut :
a. Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit
b. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga
c. Mendemoralisir atau memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan
d. Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika
e. Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama
f. Adanya pengeksploitasian manusia datu oleh manusia yang lainnya
g. Bisa menyebabkan adanya disfungsi seksual
Dari segi aktifitasnya, pelacuran dibagi kepada dua bagian :
- Prostitusi terdaftar yaitu pelakunya diawasi oleh bagian vice control dari kepolisian yang dibantu dan bekerja sama dengan bagian social dan kesehatan
- Prostitusi tidak terdaftar yaitu mereka yang melakukan prostitusi secara gelap dan liar, baik secara perorangan maupun kelompok.

Mengaca pada realita
Seperti telah disinggung di awal bahwa fenomena prostitusi –baik yang terdaftar ataupun tidak- telah menjadi semacam fenomena gunung es. Berbagai bentuk sebab dan alasan menghiasi setiap tindakan yang kontra dengan budaya ini. Seperti contoh dalam fakta berikut :
Di sebuah kecamatan bernama Kroya Kab. Indramayu Jawa Barat ada fenomena ketika murid Sekolah Dasar Negeri Sukamelang 3 akan menghadapi ujian kelulusan bukannya disibukkan dengan tambahan pelajaran yang lebih intensif, malahan mereka “cuti sekolah” hanya untuk membantu keluarganya dalam hal ekonomi untuk menambah biaya hidup. Hanya usaha yang mereka lakukan bukanlah dengan jualan makanan, barang, atau sejenisnya, tapi mereka rela dijadikan pelayan-pelayan dalam bidang ‘esek-esek’ di kota-kota besar. Dengan dalih para orang tua mereka telah diberi semacam ‘uang muka’ berkisar antara 2,5 juta sampai 6 juta sebagai tanda jadi dan berhak membawa puteri-puteri mereka dibawa untuk dieksploitasi. Lebih ironi lagi seandainya kita tahu bahwa ternyata yang menjadi broker-krokernya ada di antaranya yang menjadi Kepala Desa, masyarakat biasa, atau bahkan gurunya pun ikut terlibat.
Lain halnya dengan kisah cerita sedih dari Jeane seorang pelacur dari Indramayu, dia terpaksa ikut terjun dalam dunia itu karena rasa sakit hati terhadap mantan pacarnya yang telah rela meninggalkannya dan menikah lagi dengan wanita lain sembari dia telah merabut keperawanan Jeane. Dia menjadi patah arang bahkan hampir prustasi, sebagai pelampiasan hidupnya ia rela menerjunkan diri menjadi PSK untuk mengurangi rasa sakitnya pada sang mantan pacar. Dalam hati kecilnya Jeane menangis dan ingin segera mengakhiri ‘karir’nya di dunia hitam tersebut, bahkan ia sempat bermimpi menjadi istri seorang ustadz.
Motivasi yang lain selain alasan di atas adalah dunia tersebut dijadikan sebagai PSK yang profesional . Sehingga ia luput dari kenyataan hukum halal haram, selain itu sebagian PSK ada yang terjun karena niatan membantu orang tuanya yang semakin membaik, dan sebagainya.

Sebuah Solusi
Dalam hal ini ada dua jenis besar yang dapat dilakukan yaitu dengan usaha preventif dan refresif/kuratif. Usaha preventif tentunya dimaksudkan untuk kegiatan mencegah terjadinya pelacuran. Usaha tersebut antara lain :
1. Penyempurnaan perundang-undangan mengenai larangan atau pengaturan penyelenggaraan pelacuran
2. Intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan kerohanian untuk memperkuat keimanan terhadap nilai-nilai religius dan norma kesusilaan
3. Menciptakan bermacam-macam kesibukan dan kesempatan rekreasi bagi anak-anak puber dan adolesen untuk menyalurkan kelebihan energinya
4. Memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita disesuaikan dengan kodrat dan bakatnya
5. Penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan keluarga
6. Pembentukan badan atau team koordinasi dari semua usaha penanggulangan pelacuran, yang dilakukan oleh beberapa instansi
7. Penyitaan terhadap buku-buku atau majalah-majalah cabul forno, film Biru, dll
8. Meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya.

Sedang usaha refresif/kuratif dimaksudkan untuk menekan (menghapuskan, menindas) dan usaha menyembuhkan para wanita dari ke-Tuna susilaannya. Di antara usaha tersebut adalah :
1. Melalui lokalisaso yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi orang melakukan control yang ketat
2. Melalui aktivitas rehabilitasi dan resosialisasi agar mereka bisa dikembalikan sebagai warga masyarakat yang susila
3. Penyempurnaan tempat-tempat penampungan bagi wanita tuna susila yang terkena razia disertai pembinaan sesuai minat dan bakat masing-masing
4. Pemberian suntikan dan pengobatan interval waktu yang tetap untuk menjamin kesehatan para prostitute dan lingkungannya
5. Menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan dunia pelacuran
6. Mengadakan pendekatan kepada pihak keluarga pelacur agar mereka mau menerima kembali wanita-wanita tuna susila tersebut untuk mengawali babak baru kehidupan mereka
7. Mencarikan pasangan hidup yang permanent untuk membawa mereka ke jalan yang benar
8. Mengikutsertakan ex WTS dalam program Trasmigrasi pemerintah di tanah air untuk pemerataan penduduk dan membuka lapangan kerja baru.


Sumber :
* Dra. Kartini Kartono, Pathologi Sosial, Jilid I, Jakarta: CV.Rajawali, cet I Maret 1981
* Selisik, HU. Pikiran Rakyat, Senin, 29 Januari 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar