Sabtu, 28 Maret 2009

ibadah qurban; refleksi ke-Kinian & ke-Disinian

Ibadah Qurban ; Refleksi ke-Kinian dan ke-Disinian
Oleh : Ihsan Faisal, M.Ag *)

Secara lughawi / bahasa, ‘qurban’ berasal dari kata: qarraba-yuqarribu-qurbaanan yang artinya mendekatkan. Menurut istilah, qurban bermakna sembelihan hewan qurban yang dilakukan pada momen Iedul Adha, baik hari nahr (10 Dzulhijjah) atau pun hari tasyrik (11-13 Dzulhijjah). Kajian fiqh membahas bahwa qurban itu ditentukan waktunya, jenis sembelihan, distribusi, dan sebagainya. Dari hal tersebut terkesan rigid/kaku namun tidak menjadi masalah karena merupakan konsekuensi ke-Islaman kita.
Nilai historis Qurban
Ibadah qurban merupakan salah satu ibadah ritual dan sekaligus sosial yang sudah mnyejarah dalam kehidupan manusia bahkan sejak zaman Nabi Adam as. Dahulu. Alkisah, putera-putera Nabi Adam as. diuji amal pengurbanannya dengan dua fenomena hasil yang berbeda; Habil yang sukses dengan pengurbanan maksimalnya, sedangkan Qabil tidak diterima Tuhan hanya karena pengurbanannya asal-asalan (tidak maksimal). “Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam (Habil & Qabil), ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka (qurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima. Ia (Qabil) berkata,”sungguh, aku pasti membunuhmu !” Dia (Habil) berkata”sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Maidah : 27).
Bukti historis yang kedua ditampilkan oleh sosok Ibrahim as. dengan nilai substantif yang sama dari pengurbanan yaitu ujian dari Allah swt. Ketika itu Ibrahim as. diperintahkan untuk menyembelih putra yang dinantikannya sekaligus disayanginya yaitu Ismail as. hanya melalui mimpi belaka. Dengan ketaatan mutlak sang Khalilullah Ibrahim dan kesalehan anaknya Ismail, perintah yang super berat itu mereka laksnakan. Tapi Allah sungguh adil, Dia menggantikan sosok Ismail yang akan diqurbankan dengan seekor domba (qibasy) yang besar. “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata,”Wahai anakku! sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanbagaimana pendapatmu !” Ia (Ismail) menjawab,” Wahai ayahku! lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Maka Tatkala keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipisnya, (untuk melaksanakan perintah Allah). Lalu Kami panggil ia,”Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sungguh demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik..” (QS. Al Shaafat : 102-106).
‘Qurban’ bukan ‘korban’
Dalam bahasa obrolan sehari-hari, kita terkadang dibuat rancu dengan kebiasaan yang salah. Ada semacam penyamaan istilah ‘qurban’ dengan ‘korban’ padahal secara makna hakiki sungguh berbeda. Istilah Qurban seperti yang telah penulis jelaskan di awal mengandung makna ketaatan Illahi dengan menyisihkan sebagian rizki / harta yang seseorang miliki. Tujuannya antara lain mencapai derajat ketaqwaan kepada Tuhan walaupun secara fisik / materi daging qurban hanya bermanfaat untuk sesama makhluk bukan untuk sang Khalik itu sendiri. “Daging (hewan qurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketaqwaan kamu. Demikianlah Dia menundukannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Hajj : 37).
Realita kehidupan manusia membuktikan bahwa pengorbanan tidaklah sama dengan pengurbanan. Ketika seseorang rela mati / berjuang hanya karena uang, kepentingan politik sesaat, membela seseorang, kelompok, dan lain-lain, maka hakikatnya ia menjadi korban bukanlah termasuk pengurbanan. Pengurbanan mestilah karena Allah, tujuannya ridla Allah dan sesuai dengan aturan Allah.
Dalam kisah sahabat Rasul saw. dikenal sosok seorang Handlalah. Ia konon menikahi sahabat perempuan, sebelum menjalani masa-masa pengantinnya (honey moon) terdengarlah olehnya ajakan untuk berjihad di jalan Allah dari Rasul saw. Tanpa berfikir panjang dan mengorbankan perasaannya, ia langsung pergi ke medan perang dan subhanallah, akhirnya ia menjadi syahid.
Sikap dan tabiat Handlalah itulah makna hakiki dari pengurbanan (al Tadhiyah), bukannya seperti orang yang membunuh dirinya lantas mengorbankan banyak orang yang tidak berdosa hanya karena hasutan segelintir orang atau kesalahfahaman memahami doktrin-doktrin agama. Pada akhirnya orang seperti ini hanya menjadi korban an sich.
Ibadah Qurban; ke-Kinian dan ke-Disinian
Di lingkungan penulis sendiri muncul sebuah wacana, manakah qurban yang lebih relevan untuk konteks kekinian dan kedisinian ? apakah qurban dalam koridor fiqh ataukah disesuaikan dengan skala prioritas (fiqh prioritas) ?
Memang dalam pemahaman fiqh, qurban mengharuskan penyembelihan hewan qurban tertentu dalam waktu tertentu pula. Di luar itu maka tidaklah termasuk ibadah qurban, tidak peduli apakah mudhahi (pengurban) sedikit atau banyak di satu daerah sedangkan di daerah yang lain tidak ada sama sekali sehingga terjadi ketimpangan / ketidakmerataan distribusi daging qurban. Akan tetapi, kalau dilihat dengan kerangka pemikiran fiqh prioritas, konteks qurban kekinian dan kedisinian akan menghasilkan sebuah asumsi (natijah); manakah hal yang lebih urgen ? Umpama dalam peristiwa musibah tsunami di Nangroe Aceh Darussalam lalu, tentu yang lebih mereka perlukan adalah rehabilitasi dalam hal fisik bangunan, lingkungan, fasilitas umum, dan lain-lain. Kemanfaatan satu kilogram daging saat itu akanlebih kecil bila dibanding dengan pembangunan fisik untuk masa depan kehidupan mereka. Saat ini di daerah kita banyak terjadi Contoh lain di suatu lingkungan sedang diadakan pembangunan sarana ibadah & pendidikan agama, sebagian ada yang lebih mengutamakan memberi donasi untuk pembangunan tersebut sedangkan yang lain masih tetap berqurban. Alasan yang pertama tentu rasional dan kontekstual karena menurutnya orang tidak akan pernah puas dengan daging atau lebih dari itu memberi kesan konsumtif. Sedangkan yang kedua berpegang pada landasan naqli qur’an dan hadits secara tekstual bahwa selamanya ibadah qurban tidak akan pernah bisa digantikan dengan yang lain. Kalau niatnya qurban..ya qurban, pembangunan..ya infaq pembangunan, masing-masing sudah ada posnya.
Dari alur pemikiran di atas, penulis bisa mengambil sebuah asumsi bahwa qurban merupakan ekspresi ketaqwaan seorang muslim kepada rabbnya. Dalam mengungkapkan ekspresi ketaqwaan tersebut harus sesuai dengan juklak dan juknis-Nya tapi sekaligus memberikan kemaslahatan yang lebih relevan dengan kondisi ke-Kinian dan ke-Disinian. Dengan kata lain kalau boleh penulis mencipta sebuah kaidah ushl –pengadopsian dari “idzaa ta’aarodho mafsadataani…..” menjadi ‘idzaa jaama’a maslahataani ruu’iya ahaduhuma bi-a’dhami maslahatan.’ (jika dua kemaslahatan berkumpul, maka ambillah satu kemaslahatan yang mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan yang lainnya.) wallaahu a’lam bis shawwab.


Bandung, Maret 2009

Ihsan Faisal, M.Ag


*) penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kec. Rancabali Kab. Bandung & Alumns Pasca Sarjana UIN SGD Bandung Kons. Studi Hadits.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar